Pria yang hobi memakai kemeja kotak-kotak berwarna pudar dengan bagian kerahnya yang sudah mulai terkoyak sedikit ini adalah sabahatku. Sampai sekarang aku belum sempat menayakan sejarah dari kemeja tersebut sehinga begitu sering dia pakai. Pada awalnya aku tak begitu mengenal sosok pria berkharisma yang begitu digandrungi banyak cewek ini. Malahan aku memandang aneh pria yang gemar memelihara kumis tipis ini dan teman-temannya. Setiap saat mereka selalu menirukan jargon si Jebraw pembawa acara Jalan-jalan Men. Kemana men? Asyik men! Ngopi men, setiap omongan mereka pasti diakhiri dengan kata men, aneh kan???
Setelah
enam bulan kita tanpa disengaja disatukan dalam sebuah kegiatan di
salah satu sekolah. Awalnya kita seperti teman-teman yang lain, hanya
saling menyapa saja. Tetapi karena kita sama-sama suka dengan kopi
hitam, akhirnya kita jadi sering nongkrong bareng di kedai kopi. Pada
waktu istirahat atau jam kosong dapat dipastikan kita akan duduk bersama
menikmati kopi buatan emak yang letaknya dekat pintu masuk sekolah. Aku
masih ingat dengan jelas bagaimana pria ini memesan kopi kesukaannya.
Mak, kopi item loro, sitok gulane titik! Sambil menunjukkan ibu jarinya
yang menyentuh ruas atas bagian jari telunjuknya sebagai tanda bahwa
campuran gula pada kopinya memang harus sedikit sekali. Begitu seringya
kita ngopi di situ, sampai-sampai emak hafal dengan kopi pesanan kita.
Semenjak saat itu kita sering kemana-mana bersama dan saking akrabnya
kita memanggil satu dengan yang lain dengan sebutan Crut. Entah apa
artinya, pokoknya pria ini memanggil aku dengan crut dan aku juga
memanggilnya dengan crut.
Kota
Bonek begitu ramai ketika pagi hari, lalu lintas begitu padat merayap.
Pelanggaran lalu lintas adalah hal yang sangat wajar dan menjadi
pemandangan yang lumrah. Pagi itu aku membonceng pria berkumis ini untuk
pergi ke sekolah, ketika lampu merah lalu lintas menyala kami pun
berhenti. Kebiasaan orang-orang di sini adalah sambil menunggu lampu
hijau menyala, mereka akan sedikit demi sedikit memajukan kendarannya,
sampai-sampai garis putih tanda batas berhenti terlewati. Gak usah
melu-melu, crut! Perkataan itu seketika menghentikan tanganku untuk
menarik gas motor lebih dalam dan tidak tahu kenapa aku menyutujuinya.
“Kalau bukan generasi muda seperti kita yang menaati peraturan lalu
lintas, lalu siapa lagi?” Imbuhnya. Begitu sederhana, tapi kalian pasti
akan sepakat dengan perkataannya itu.
Setiap
pagi sebelum sarapan aku lebih suka meminum secangkir kopi hitam, dan
lagi-lagi hanya pria berkumis ini yang selalu berangkat ketika aku
mengajaknya. Padahal saat itu masih pagi buta dan kebayakan orang masih
bermalas-malasan di pulau kapuknya. Warkop depan puskesmas Lidah Kulon
adalah basecamp baru yang aku temukan bersamanya tanpa sengaja. Di
warkop ini tersedia kopi hitam yang lebih nikmat dan pekat dari pada
basecamp langganan kita di Warkop Gang 7. Nikmatnya ngopi pagi adalah
kita akan mendapatkan macam-macam gorengan yang masih hangat yang tidak
akan kita temui di malam hari. Si kumis dan aku juga sangat suka dengan
nasi bungkus sambal teri yang hanya tersedia di warkop puskesmas ini.
Pada saat duduk bersama dan meyruput secangkir kopi, terkadang kita
bercerita tentang kehidupan dan pengalaman masing-masing. Kesederhaannya
dalam hidup dan pemikiran kritisnya terhadap hal-hal sekitar membuatku
kagum padanya. Pria ini memang sederhana tetapi mengispirasi.
Sebenarnya
cerita tentang pria berkumis ini masih begitu sedikit aku ceritakan.
Hanya saja semakin aku bercerita, semakin aku rindu padanya. Sekarang
pria penyuka Payung Teduh telah mengabdikan dirinya di Negeri Melayu.
Membagikan pengalaman dan ilmunya untuk para tunas-tunas bangsa yang
tinggal di ladang. Baik-baik di sana pria berkumis, aku masih setia
menantikan saat-saat kita nanti duduk di satu bangku ditemani kopi hitam
dan tawa hinamu.
"Setiap Orang Punya Isi Jika Kamu Jeli"
0 komentar:
Posting Komentar